Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan Islam


Dalam pengertiannya yang lebih umum, strategi dapat dimaknai sebagai pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di lapangan. Maka tidak jauh beda dengan strategi pendidikan yang pada hakikatnya juga pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor dan kekuatan untuk mengamankan sasaran kependidikan yang hendak dicapai melalui perencanaan dan pengarahan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, lengkap dengan perhitungan tentang hambatan-hambatanya baik berupa fisik maupun non fisik seperti mental spiritual, dan moral baik dari subyek didik, obyek, maupun lingkungan sekitar.[1]
Adapun strategi pendidikan Islam kaitannya dengan upaya mengembangkan kecerdasan emosional merupakan kewajiban bagi setiap orangtua, guru, dan masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial.
1.        Lingkungan keluarga
keluarga merupakan system sosial terkecil dalam masyarakat yang memegang peranan penting dalam penanaman nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, di dalam lingkungan keluarga anak seharusnya mendapatkan bimbingan dan arahan atas segala potensi yang ada dalam dirinya. Menurut Hurlock, keluarga merupakan “Training Center” bagi penanaman nilai-nilai pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadiaannya yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan.
Dalam hal ini, tidak dapat disangsikan bahwa yang menjadi pendidik adalah orang yang telah dewasa. Karena tidak mungkin seseorang akan mampu membawa arah anak-anak ke arah kedewasaan itu, pertama-tama bukan karena anjuran-anjuran atau nasehat-nasehat yang diberikan oleh pendidik, melainkan karena gambaran kedewasaan yang senantiasa dibayangkan oleh sebab pergaulan mereka dengan pendidik, orangtua mereka sendiri, setiap hari dalam lingkungan sendiri. Karena itu setiap pendidik dapat diramalkan akan mengalami kegagalan, jika orantuanya sendiri belum mencapai kedewasaan.
Kenyataan menunjukan bahwa cukup banyak keluarga, dimana orangtua belum dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai pendidik. Maka dari itulah sebabanya campur tangan Negara terhadap kelangsungan pendidikan anak menjadi relevan. Namun begitu, meski sudah dibantu oleh negara dengan mencapuri urusan pendidikan terhadap anak-anak, tetapi orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Demikian penyusun katakan karena adanya beberapa alas an. Di antaranya:
a.     Ikatan keluarga yang merupakan ikatan perasaan antara orangtua dan anaknya tidak mungkin tergantikan.
b.    Sehubungan dengan point a, maka tidak akan ada seorang anak yang akan menjadi normal, jika tidak ada hubungan perasaan dengan orangtuanya dan
c.     Proses kehidupan dalam lingkungan keluarga ialah proses hidup, hidup manusia yang didukung oleh pendidikan yang sudah menetap, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, dan lain sebagainya.
 Melihat dari beberapa uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa keluarga merupakan unsur primer dalam peranannya mendidik anak-anaknya sendiri. Keluarga muslim adalah pelindung pertama, tempat anak dibesarkan dalam suasana yang mawaddah waramah. Artinya sepasang suami isteri yang kedua tokohnya (ibu dan bapak) berpadu dalam merealisasikan tujuan pendidikan.[2]
Adapun tujuan dari pendidikan Islam melalui keluarga dimaksudkan untuk:
1.            Menegakkan hukum-hukum Allah
2.          Merealisasikan ketenangan jiwa
3.          Menampilkan uswatun khasanah dan
4.          Menjalin hubungan kasih sayang
Sementara itu, menurut Ishak bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam rangka menanamkan keimanan dan mengembangkan fitrah anak dalam lingkungan keluarga adalah sebagaimana berikut:
1.      Tahap asuhan antara usia 0-2 tahun
Seperti kita ketahui bahwa pada usia 0-2, seorang anak belumlah memiliki kesadaran dan daya intelektual. Sebaliknya, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Oleh karena itu, interaksi edukasi secara langsung juga tidak mungkin dapat dilakukan. Karenanya proses edukasi dapat dilakukan dengan cara
1)     Mengazankan ditelinga kanan dan iqomah ditelinga kiri ketika baru lahir. Dalam hal ini, Rasulullah Saw pernah bersabda yang artinya: dari hasan bin Ali ra. Dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “barang siapa lahir bayinya, maka hendaklah ia membacakan azan pada telinga kanannya, dan iqomah pada telinga kirinya, niscaya ia (bayi) tidak diganggu oleh jin”[3].
2)   Akikah, dua kambing untuk laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Sabda Rasulullah Saw yang artinya: Diungkapkan oleh Baihaqi dari Abdullah bin Yazid dari bapaknya yang bersumber dari Rasulullah Saw, sesuai sabdanya “Akikah itu penyembelihannya pada hari ke tujuh atau ke empat belas atau kedua puluh satu dari anak yang dilahirkan”[4].
3)   Memberi nama yang baik.
4)   Membiasakan hidup bersih, suci, dan sehat.
5)    Memberi ASI sesuai dengan batas umur yang ditentukan, yaitu usia dua tahun.
6)   Memberi makan dan minuman yang bergizi.
2.    Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca indra (usia 3-12 tahun)
Fase ini lazim disebut fase anak-anak (al-thifl/shabi), yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa polusi (mimpi basah). Pada fase ini anak mestilah dibiasakan dan dilatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku. Selain itu, perlu pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan pengimanan, melalui metode cerita dan uswah al-hasanah.
3.    Tahap pembentukan watak dan pendidikan (usia 12-20 tahun).
Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah. Atau fase baligh (disebut juga mukallaf) di mana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah swt. Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial.
4.    Tahap Kematangan (usia 20-30 tahun)
Pada tahap ini, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan  dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah dalam aspek agama, ekonomi, sosial dan sebagainya.
5.     Tahap Kebijaksanaan (usia 30-meninggal)
Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al-‘umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Proses edukasi bisa dilakukan dengan mengingatkan agar mereka berkenan sedekah atau zakat bila ia lupa serta mengingatkan agar harta dan anak yang dimiliki selalu didarmabaktikan kepada agama, Negara, dan masyarakat sebelum menjelang hayatnya.
2.      Lingkungan sekolah
Dilingkungan sekolah, anak-anak berkumpul dengan usia yang nyaris sama dan dengan taraf kemampuan pengetahuan yang hampir sederajat dan secara sekaligus akan menerima pelajaran yang sama. Maka jika di lingkungan keluarga orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, maka yang paling bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan anak dalam lingkungan sekolah adalah para gurunya.
Dalam hal ini, Islam memerintahkan bahwa tugas guru (sekolah) adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga mendidik. Guru bahkan harus mampu menjadi teladan bagi para muridnya. Dan dalam segala mata pelajaran, seorang guru harus mampu menanamkan rasa keimanan dan akhlak sesuai dengan ajaran Islam bahkan di luar sekolah pun sang guru harus mampu bertindak sebagai seorang pendidik.[5]
Pada dasarnya, sekolah harus merupakan sebuah lembaga pendidikan yang membantu bagi tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mempunyai program pendidikan yang sistematis dalam melaksanakan bimbingan pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam dirinya.
3.      Lingkungan Masyarakat
Allah telah menjadikan masyarakat Islami sebagai suatu masyarakat yang menyuruh supaya berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 110 yang artinya “kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”.
Oleh karena itu, dan berdasarkan dari firman Allah di atas, bahwa masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Yaitu, masyarakat hendaknya turut bersikap aktif dalam rangka menjaga fitrah anak dari segala macam perbuatan salah. Sedari kecil, anak jangan sampai diperlihatkan sesuatu yang secara prinsipil melanggar aturan agama. Sebab jika tidak, maka kelak ketika usia anak sudah mencapai cukup usia dewasa, tidak menutup kemungkinan ia akan berbuat hal serupa sebagaimana yang telah dicontohkan oleh masyarakat sekelilingnya.
Lebih jauh, bahwa dalam masyarakat anak berinteraksi dengan teman sebayanya. Hurlock mengemukakan bahwa aturan-aturan (kelompok bermain) memberikan pengaruh pada pandangan moral dan tingkah laku kelompoknya, kualitas perkembangan kesadaran anak sangat bergantung pada kualitas perilaku orang dewasa atau warga masyarakat.
Sementara itu, menurut Ishak W Talibo bahwa kualitas pribadi orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah:
a.     Taat melaksanakan kewajiban agama seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur. Juga membentuk pengajian anak-anak dan membentuk Majelis Taklim.
b.     Menghindari diri dari sikap dan perilaku yang dilarang oleh agama. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk membangun kecerdasan emosional dan spiritual maka segala belenggu yang dapat membutakan hati harus dihilangkan lalu menyeimbangkan dengan nilai-nilai keimanan kemudian diaplikasikan dengan nilai-nilai keislaman. Di samping itu lingkungan juga sangat mendukung pertumbuhan tersebut. Tidak kondusifnya satu lingkungan dapat mengakibatkan tujuan yang akan dicapai tidak berhasil dengan baik.[6]
Sementara itu, hingga kini pengembangan kecerdasan emosional ditengah masyarakat kita sangat kurang mendapatkan perhatian. Bahkan tidak jarang kita temui anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa permasalahan pendidikan anak adalah menjadi tanggungjawab sekolah atau keluarga saja. Padahal, masyarakat adalah suatu institusi yang juga bertanggungjwab terhadap pendidikan anak-anak.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebagian besar anak-anak menghabiskan waktunya bersama-sama dengan masyarakat disekelilingnya. Mereka setiap harinya bermain, bercengkrama, dan lain sebagainya bersama dengan tetangga-tentangganya. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masyarakat untuk ikut mengambil peran yang, mungkin, salah satunya melalui bentuk kerjasama, baik dengan orangtua, sekolah, maupun dengan pihak lain untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak.
Dengan demikian, sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan  upaya-upaya pendidikan bagi anak-anak oleh masyarakat apabila mereka mau bekerjasama sama terutamakepada para orangtua dan pihak sekolah. Bagaimanapun, peran masyarakat terhadap pendidikan anak-anak yang utama untuk mengembangkan kecerdasan emosinya merupakan yang sangat penting. 



[1] Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02

[2] Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif al-Quran (Jakarta, Madani Press, 2001) hlm. 96

[3] M.Afnan Chafish dan M. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam; Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, (Surabaya, Khalista, Cet II, 2007) hlm. 21
[4] Ibid, hlm. 47
[5] Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif al-Quran, hlm. 100

[6] Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02



Source : syahril-alrosyid.blogspot.com/

0 Response to "Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan Islam"

Posting Komentar