Oleh Abdurrahman Wahid
GUNTUR Romli, salah seorang kalangan muda NU yang
menyatukan pemikiran-pemikirannya tentang berbagai masalah, dan salah seorang
pimpinan Jaringan Islam Liberal (JIL), menyatakan bahwa ‘kiai kampung’
mendukung penulis dalam sikap-sikap politiknya.
Sayangnya, beberapa hal tidak dikemukakannya
secara terbuka. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengemukakan hal-hal itu
secara terbuka dan diharapkan dengan itu pengertian orang banyak tentang kiai
kampung akan menjadi lebih jelas. Diperlukan adanya kejelasan dalam hal ini,
karena peranan kiai kampung dalam Pemilu 2009 akan menjadi sangat besar.
Kalau KPU/KPUD dapat dibenahi dan menjaga
kebersihan dirinya, kiai kampung dapat terdorong untuk ‘mengarahkan’ para
pemilih kepada pihak PKB. Bahkan, ada kemungkinan PKB menjadi partai terbesar
dalam pemilu tersebut. Karena itu, keberadaan kiai kampung menjadi sangat
penting dalam kehidupan politik yang sedang dibangun bangsa ini. Istilah ‘kiai
kampung’ adalah kata yang digunakan penulis untuk menunjuk salah satu dari dua
macam kiai yang ada dalam masyarakat kita, selain ada kiai sepuh dan
sebangsanya, yaitu mereka yang menjadi pengasuh pesantren- pesantren besar
seperti Lirboyo, Langitan, Tebuireng, dan sebagainya.
Mereka menjadi pihak yang tidak lagi mampu
berkomunikasi langsung dengan rakyat,karena para pengasuhnya adalah kiai-kiai
yang bergaul -dalam bahasa pesantren ‘disowani’, oleh kiai-kiai yang ‘kelasnya’
ada di bawah mereka. Jadi, mereka tidak lagi berhubungan langsung dengan
rakyat, tetapi dengan para penghubung. Yang menyekat hubungan langsung dengan
para penganut itu, dapat saja berupa kiai-kiai pondok pesantren yang kecil,
para pejabat pemerintahan ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan
peranan mereka.Bahkan,banyak juga kiai sesepuh yang ‘berkenalan’ dengan uang,
kekuasaan dan jabatan.
Banyak juga di antara kiai kampung itu yang
dihadapkan kepada ‘keharusan’ menghadapi penilaian-penilaian oleh kiai sesepuh
tentang keadaan yang dihadapi. Tetapi mereka juga harus mendengarkan pendapat
orang-orang pinggiran, rakyat kecil, maupun pihak-pihak lain yang tidak masuk
ke lingkaran kekuasaan. Nah,dalam suasana adanya keadaan-keadaan yang saling
bertentangan itu,kiai kampung harus lebih sering mendengar pendapat mereka yang
berada di luar lingkar kekuasaan itu. Sudah tentu ini merupakan pola hubungan
timbal balik yang sehat antara para kiai kampung itu dan rakyat yang mereka
pimpin.
Pola komunikasi antara kedua belah pihak itu
tentu saja dapat dibalik, yaitu sangat besarnya pengaruh dari orang-orang
masyarakat itu dan kiai kampung. Karena itu, dapatlah dipertanggungjawabkan
anggapan bahwa kiai kampung lebih mengerti keadaan dan perasaan rakyat kecil.
Apa yang dikemukakan di atas, sebenarnya adalah proses pendangkalan pemahaman
agama, akibat berkembang masyarakat secara horizontal. Dahulu, para kiai utama
(seperti halnya KH M. Hasyim As’yari dari Tebuireng, Jombang) masih dapat
meluangkan waktu untuk mendengarkan warga masyarakat yang berbagai-bagai itu,
karena mereka berada di luar lingkaran kekuasaan pemerintah. Sebagai hasil,
komunikasi antara mereka dan rakyat kecil tetap terpelihara dengan baik.
Tetapi sekarang, kiai-kiai utama itu harus
menghabiskan waktu untuk berhubungan dengan orang-orang pemerintahan maupun
elite kekuasaan.Ini berarti lebih kecil peluang untuk berkomunikasi dengan
orang-orang biasa. Kalau masalah ini saja sudah membuat jarak komunikasi antara
kiai dan rakyat kecil, dapat dibayangkan bagaimana komunikasi dapat berjalan
lancar antara rakyat kecil dan para kiai yang menjadi besan ataupun berkeluarga
dengan elite politik dalam masyarakat.
Dari keseluruhan uraian di atas, dapat
dibayangkan bagaimana besarnya pengaruh perubahan sosial dari perkembangan yang
terjadi dalam hidup bermasyarakat. Hal-hal seperti inilah yang sering luput
dari perhatian kita. Belum lagi berbagai perubahan sosial yang terjadi sebagai
akibat dari perjumpaan antara elite politik dan para kiai sesepuh membawa
akibat-akibat yang tidak terduga sebelumnya.
Dilihat dari sudut pandangan ini,sebenarnya
ilmu-ilmu sosial tertinggal dari perkembangan keadaan dalam masyarakat luas.
Ini antara lain dapat dilihat pada penggunaan bahasa dalam masyarakat kita.
Walaupun bunyinya sama, ada perbedaan besar dalam penggunaan bahasa yang sama
itu oleh berbagai kelompok.
Kalangan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), dan para intelektual menggunakan bahasa yang tidak sama dengan kelompok
lain.Kaum birokrat umumnya menggunakan bahasa semu (euphimisme), seperti kata
diamankan untuk menyatakan ditangkap. Rakyat kecil, dengan demikian mendapati
bahwa mereka berada di luar lingkaran kekuasaan dalam segala hal, termasuk
dalam komunikasi. Karena itulah, mereka mengembangkan dua hal sekaligus. Di
satu pihak, mereka melakukan komunikasi intern dengan bahasa sendiri.
Bahasa itu tidak sedikit mempunyai konotasi
serius. Umpamanya saja,mereka menggunakan kata bonek (bondo nekat) untuk
membuat euphimisme mereka sendiri atas keadaan yang terjadi. Di sisi lain,
mereka kembangkan sikap seolah-olah tidak peduli kepada perubahan yang terjadi,
dan dengan demikian mengembangkan apa yang oleh mantan Presiden Amerika Serikat,
mendiang Richard Nixon disebut sebagai ”mayoritas membisu”(silent majority).
Dari sinilah, kita lalu dipaksa menerima kebisuan sebagai alat
komunikasi.Hal-hal seperti di atas menunjukkan kita harus mampu memahami
hakikat segala permasalahan, termasuk pemunculan kiai kampung.(*)
0 Response to "Hakikat Kiai Kampung"
Posting Komentar