Rasionalitas Komunikatif



Ada suatu rasionalitas aneh, yang melekat bukan dalam bahasa itu sendiri melainkan dalam penggunaan komunikatif ungkapan-ungkapan linguistik yang tidak dapat direduksi baik kepada rasionalitas pengetahuan yang epistemik (sebagaimana diandaikan semantik kebenaran-kebenaran bersyarat klasik). Rasionalitas komunikatif ini diungkapkan dalam kekuatan berbicara yang menyatukan yang berkiblat kepada upaya mencapai pemahaman, yang menjamin bagi pembicara yang berpartisipasi dengan dunia kehidupan antar subjek, karena itu pada saat yang sama menjamin horizon dalam mana setiap orang dapat merujuk pada dunia objektif yang satu dan sama.
Penggunaan komunikatif ekspresi-ekspresi linguistik tidak saja berguna dalam mengungkapkan niat-niat satu pembicara tetapi juga mewakili keadaan masalah-masalah (atau mengandaikan eksistensi mereka) dan membangun relasi-relasi antar pribadi dengan pribadi kedua. Di sini, tiga aspek dari (a) satu pelaku yang mencapai pemahaman (b) dengan seseorang (c) tentang sesuatu yang direfleksikan. Apa yang ingin dikatakan pembicara dalam suatu ungkapan terkait baik dengan apa yang dikatakan secara harfiah dan dengan tindakan dengannya ungkapan itu dapat dipahami. Jadi, ada tiga relasi dimensi antara makna satu ungkapan linguistik dan (a) apa yang dimaksudkan dengannya, (b) apa yang dikatakan di dalamnya dan (c) cara ia digunakan dalam tindakan berbicara. Dengan tindakan berbicara ini, pembicara mengejar tujuann dalam rangka mencapai pemahaman dengan satu orang pendengar tentang sesuatu. Tujuan yang telah ditentukan, sebagaimana yang akan kita rujuk, yang bertingkat: tindakan berbicara pertama-tama diyakini dipahami oleh pendengar dan kemudian – sedapat mungkin – diterima.
Rasionalitas dari penggunaan bahasa yang berkiblat kepada pencapaian pemahaman tergantung pada entahkah tindakan berbicara cukup dipahami dan diterima untuk pembicara agar mencapai keberhasila yang telah pasti dengan mereka (atau bagi dia untuk dapat melakukan hal demikian dalam lingkungan-lingkungan yang normal). Sekali lagi, kita tidak saja menyebut tindakan-tindakan berbicara sah yang sebagai rasional, namun justru semua tindakan berbicara yang dapat dipahami deminya seorang pembicara mengambil suatu jaminan yang dapat dipercayai dalam lingkungan yang ada hingga mendatangkan dampak bahwa klaim-klaim keabsahan yang dapat muncul dapat, apabila perlu, dibenarkan secara wacana.
Jadi, di sini juga, ada kaitan internal antara rasionalitas tindakan berbicara dan pembenarannya yang mungkin. Hanya dalam argumentasi-argumentasi klaim-klaim validitas yang muncul secara implisit bersama saut tindakan berbicara dapat ditematisasi sebagai hal demikian dan diuji dengan alasan-alasan.
Tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tidak boleh dilukiskan sebagai keadaan yang dapat diwujudkan melalui campur tangan dalam dunia objektif. Karena alasan ini, kita hendaknya tidak memahami tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam mencapai pemahaman (yang, kalau kita boleh berbicara demikian, imanen dalam bahasa) sebagai efek-efek perlokusioner yang dihasilkan pembicara dalam diri pendengar dengan tindakan berbicaranya dengan cara penggunaan pengaruh yang kausal. Di sini, saya ingin membuat tiga pengamatan. Pertama, tujuan-tujuan ilocusioner tidak dapat didefinisikan secara terpisah dari sarana-sarana linguistik dalam mencapai pemahaman; sebagaimana ditandaskan secara jelas oleh Wittgenstein, tujuan mencapai pemahaman melekat dalam medium linguistik itu sendiri. Kedua, pembicara tidak dapat menginginkan tujuannya sebagai sesuatu yang dihasilkan secara kasual, karena “ya” atau “tidak” dari pendengar adalah posisi dimotivasi secara rasional; para partisipan dalam komunikasi menikmati kebebasan untuk mampu mengatakan “tidak”.
Akhirnya, pembicara dan pendengar memperhadapkan satu sama lain dalam suatu sikap performatif sebagai pribadi pertama dan kedua, bukan sebagai lawan atau objek di dalamnya dunia entitas tentang-nya mereka berbicara. Ketika ingin mencapai pemahaman satu sama lain tentang sesuatu, tujusan mereka yang telah ditetapkan terleka di luar dunai objektif di dalamnya mereka dapat campur tangan secara sengaja sebagai pelaku-pelaku yang mengamati. Namun, sebagai peristiwa-peristiwa yang dapat dilokalisasi dalam ruang dan waktu, tindakan berbciara serempak juga bagian dari dunia objektif di dalamnya, sebagaimana semua tindakan teleologis, mereka dapat juga mewujudkan hal-hal, yakni dapat juga mewujudkan dampak-dampak perlocusioner.
Pembicara ingin alamat yang dituju menerima apa yang dikatakan sebagai yang sah; hal ini diputuskan oleh jawabaan “ya” atau “tidak” dari si alamat terhadap klaim keabsahan atas apa yang dikatakan bahwa pembicara bangkitkan dengan tindakan berbicara. Apa yang membuat hal yang ditawarkan tindakan berbicara dapat diterima adalah, terutama, alasan-alasan bahwa pembicara dapat menyediakan dalam konteks terberi demi validitas dari apa yang dikatakan. Rasionalitas yang melekat dalam komunikasi bahwa berada dalam kaitan internal antara (a) syarat-syarat yang membuat satu percakapan sah, (b) klaim bangkit oleh pembicara bahwa syarat-syarat dipenuhi, dan (c) kredibilitas dari jaminan yang diberikan oleh pembicara berdampak bahwa ia dapat, apabila perlu, mempertahankan dalam wacana klaim validitas.
Dalam rangka menutup seluruh spektrum dari klaim-klaim validitas yang mungkin, adalah hal yang bermakna untuk memulai dengan mengajui pertanyaan menyeluruh: dalam arti apa tindakan berbicara dapat dinegasikan sebagai suatu keseluruhan? Dalam menjawabi pertanyaan ini kita menemukan secara telak tiga jenis klaim validitas: klaim kebenaran dalam konteks pelbagai kenyataan yang kita tegaskan dengan rujukan pada objek-objek dalam dunia objektif; klaim-klaim terhadap ketulusan (Wahrhaftigkeit) ungkapan-ungkapan yang mewujudkan pengalaman-pengalaman (Erlebnisse) terhadapnya pembicara memiliki akses privilese; dan akhirnya, klaim-klaim akan kebenaran dari norma-norma dan perintah-perintah yang diketahui dalam dunai sosial yang dimiliki secara bersama antar subjektif.

0 Response to "Rasionalitas Komunikatif"

Posting Komentar